Translate

Monday, October 8, 2012

Membawa Senjata Api (Pistol) Dalam Pesawat Udara Sipil




Bepergian menggunakan transportasi udara bagi hampir sebagian besar masyarakat saat ini adalah merupakan pilihan utama, mengingat transportasi udara memiliki ciri-ciri antara lain : aman, teratur, efisien dan nyaman.
Untuk melindungi penerbangan sipil (awak pesawat udara dan penumpang) selama dalam penerbangan, sebagaimana tersebut pada ciri transportasi udara, seperangkat peraturan dibidang keamanan penerbangan telah disiapkan (Internasional & Nasional), yang salah satu diantara peraturan tersebut mengatur bagaimana penumpang pesawat udara sipil bisa membawa senjata api (pistol) beserta pelurunya dalam pesawat udara sipil dengan cara dititipkan secara resmi.
Untuk diketahui bahwa Direktur  Jenderal Perhubungan Udara melalui peraturan Nomor : SKEP/100/VI/2003 tentang ”Petunjuk Teknis Penanganan Penumpang Pesawat Udara Sipil Yang Membawa Senjata Api Beserta Peluru dan Tata Cara Pengamanan Pengawalan Tahanan Dalam Penerbangan” telah memberikan panduan/petunjuk teknis bagaimana penumpang pesawat udara sipil yang memiliki (secara resmi) senjata api ukuran tertentu beserta pelurunya bisa membawanya dalam penerbangan dengan mengikuti peraturan yang telah diundangkan.
Dalam peraturan tersebut diadakan pembatasan untuk jenis dan kaliber senjata karena peluru yang merupakan bagian tak terpisahkan dari operasional sebuah senjata dikategorikan sebagai ”barang/bahan berbahaya/dangerous goods kelas I (explosive)” yang karena keberadaan dan sifatnya harus dilakukan pembatasan dalam pe-ngangkutan.
Secara konkrit telah diatur petunjuk teknis penanganan pe-ngangkutannya sebagai berikut :
  1. Penumpang dilarang membawa senjata api dan peluru ke kabin pesawat udara;
  2. Senjata api yang dimaksud adalah senjata genggam atau senjata pinggang dengan kaliber maksimum 9 (sembilan) mm;
  3. Penumpang wajib menitipkan senjata api dan peluru kepada pengangkut pada waktu check-in (melapor kepada petugas aviation security selanjutnya didampingi pada proses penyerahan di check-in counter);
  4. Sebelum diserahkan, peluru dikeluarkan dari pistol dan dilakukan sendiri oleh pemiliknya;
  5. Senjata api diperlakukan sebagai security item, dan peluru diperlakukan sebagai dangerous goods serta  disimpan terpisah di security locker cargo compartement selama penerbangan;
  6. Batasan pistol dan peluru yang dapat diangkut : a. maksimum kaliber 9 mm (milimeter) ; b. Jumlah peluru maksimum per penumpang/pistol adalah 12 (dua belas) butir; c. Jumlah peluru maksimum per pesawat udara/penerbangan adalah 100 (seratus) butir;
  7. Pengangkut mengeluarkan tanda terima penyerahan senjata dan bertanggung jawab atas keamanan senjata beserta pelurunya;
  8. Senjata api dan pelurunya diserahkan kembali kepada pemiliknya di pintu keluar terminal kedatangan, bandar udara tujuan dengan penyelesaian administrasi penyerahan;
Penjelasan tersebut memiliki pengertian bahwa siapapun pe-numpang, dari manapun asal kesatuannya, apapun pangkat dan jabatannya ketika yang bersangkutan menggunakan transportasi udara dengan pesawat udara sipil, maka diberlakukan peraturan sebagaimana SKEP/100/VI/2003 tentang ”Petunjuk Teknis Penanganan Penumpang Pesawat Udara Sipil Yang Membawa Senjata Api Beserta Peluru Dalam Dan Tata Cara Pengamanan Pengawalan Tahanan Dalam Penerbangan”.
Selanjutnya kalimat ”menyerahkan” pada proses penitipan memiliki pengertian bahwa senjata api tidak ditemukan oleh petugas security/operator mesin X-Ray di dalam tas atau bagasi, sebagai hasil tayangan monitor mesin X-Ray. Pada dasarnya semua peraturan yang berkaitan dengan keamanan penerbangan tersebut bersumber secara internasional dari ICAO (Annex 17, Annex 18 beserta dokumen-dokumennya) dan berlaku secara universal diseluruh negara  yang tunduk dan taat pada peraturan tersebut serta bertujuan memberikan perlindungan kepada awak pesawat udara dan penumpang selama penerba-ngan, sehingga pengangkutan senjata api beserta pelurunya yang memiliki ukuran lebih besar dari ukuran tersebut tidak direkomendasikan, kecuali menggunakan penerbangan khusus (tidak melibatkan penumpang umum).
Sebagaimana peraturan perundangan lainnya di bidang penerbangan,  maka semenjak peraturan tersebut diundangkan seluruh masyarakat pengguna jasa penerbangan sipil dapat dianggap sudah mengetahui, karena ketidak tahuan mereka akan peraturan yang telah diundangkan bukanlah pembenar.
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa masih  banyak pihak-pihak yang memiliki senjata api beserta peluru (militer maupun perorangan)  belum memahami peraturan keamanan penerbangan sipil, sehingga masih sering dijumpai kesalahpahaman antara pemilik senjata api dengan petugas aviation security atau pengangkut.
Upaya terbaik  dan effektif yang dapat dilakukan adalah dengan cara melaksanakan sosialisasi secara terus menerus kepada pihak-pihak terkait, dengan harapan tiap instansi yang karena lingkup dan sifat tugasnya harus membawa senjata api beserta peluru dalam pesawat udara sipil secara berjenjang memahami peraturan perundangan yang berlaku.
Selanjutnya para pejabat pada instansi terkait dengan kepemilikan senjata api  memiliki tanggung jawab secara moral untuk menyampaikan/mensosialisasikan kepada seluruh anggota pasukan.
Apabila seluruh anggota pasukan dari institusi pemegang senjata api telah memahami peraturan keamanan dan keselamatan pe-nerbangan sipil, maka tidak akan terjadi benturan dilapangan  antara pemilik/pemegang/pembawa senjata api dengan petugas aviation security maupun petugas check-in counter staf pada proses penyerahan senjata api untuk diangkut de-ngan pesawat udara sipil.
Kita semua pasti ingin mendapat jaminan keamanan pada saat menjadi penumpang pesawat udara sipil, walaupun pada kompartemen pesawat udara tersebut terdapat titipan senjata api beserta pelurunya, dan jaminan rasa aman tersebut akan terwujud manakala semua pihak telah memahami, menghormati serta memberikan dukungan penuh terhadap pelaksanaannya dengan mengambil peran secara aktif.(*)

Skrening Penumpang dan Barang dalam Penerbangan Sipil


sumber : aviasi | Sep 02, 2010 |
KEAMANAN penerbangan adalah suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada penerbangan sipil dari tindakan melawan hukum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas dan prosedur.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan Bab I Pasal 1 butir 49 tegas-tegas menyebutkan hal itu.
Pengertian tindakan melawan hukum (Act of Unlawful Interference) dalam penerbangan sipil adalah: Tindakan-tindakan atau percobaan yang membahayakan keselamatan penerbangan sipil dan angkutan udara antara lain:
  1. Menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang terbang  atau sedang di darat
  2. Menyandera orang di dalam pesawat udara atau  di bandar udara
  3. Masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas bandar udara atau wilayah fasilitas aeronautika secara  tidak sah
  4. Membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin
  5. Menyampaikan informasi palsu yg membahayakan keselamatan penerbangan
Untuk memberikan perlindungan keamanan kepada penerbangan sipil dari tindakan melawan hukum, maka ketentuan (internasional dan nasional) sebagaimana tersurat dalam ANNEX 17 International Civil Avia­tion Organization (ICAO) tentang ”Security”, Document 8973 tentang ”Security Manual”, Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 9 Tahun 2010 tentang Prog­ram Keamanan Penerbangan Nasional (PKPN) menjelaskan bahwa pada dasarnya pola umum pengamanan penerbangan sipil dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu keamanan umum bandar udara; dan skrening penumpang dan barang.
Keamanan umum bandar udara merupakan keamanan seluruh daerah lingkungan kerja bandar udara yang secara fisik harus dilengkapi dengan pemagaran (pagar ganda konstruksi kuat dengan ketinggian 2,42 meter), pola pemeriksaan pada pintu-pintu masuk bandar udara (acces control point/ACP), pola penjagaan pada pos-pos strategis, pemasangan kamera CCTV serta patroli.
Daerah Keamanan Terbatas
Pada bandar udara ditentukan sebuah daerah yang disebut dengan ”Daerah Keamanan Terbatas” (Security Restricted Area) yang maksudnya adalah daerah-daerah tertentu di dalam bandar udara maupun di luar bandar udara yang digunakan untuk kepentingan keamanan penerbangan, penyelenggara bandar udara dan kepentingan lainnya, dan untuk masuk daerah tersebut dilakukan pemeriksaan keamanan sesuai ketentuan yang berlaku, yang selanjutnya disebut dengan ”upaya pengendalian keamanan” (security control), maksudnya Adalah… tindakan untuk mencegah  terbawanya senjata, bahan peledak atau alat–alat berbahaya lainnya, dan barang/bahan berbahaya yang dapat digunakan untuk melakukan tindakan gangguan  melawan hukum;
Ada dua golongan pihak yang diizinkan masuk ke daerah keamanan terbatas, yaitu:
  1. Calon penumpang yang memiliki dokumen perjalanan yang sah sesuai dengan identitas dirinya
  2. Petugas/pekerja dan kendaraan/peralatan bergerak yang telah memiliki izin sah dari otoritas bandar udara yang selanjutnya disebut pas bandara (untuk orang/kendaraan)
Dari penjelasan tersebut, maka diwajibkan kepada seluruh calon penumpang (tanpa kecuali) untuk menunjukkan identitas diri (KTP/SIM/Pasport) pada saat melakukan pelaporan keberangkatan di check-in counter kepada petugas, hal ini untuk menghindari adanya calon penumpang yang memiliki/menggunakan tiket penerbangan atas nama orang lain karena ulah calo/orang yang tidak bertanggung jawab, yang berdampak pada kesulitan mengajukan klaim asuransi.
Selain kesesuaian dokumen perjalanan dengan identitas diri maka terhadap barang bawaannya wajib dilakukan pemeriksaan keamanan menggunakan alat bantu pemeriksaan (mesin X-Ray, Walk Trough Metal Detector/WTMD, Hand Held Metal Detector/HHMD, Explosive Detector/ED) maupun secara manual (body searching & manual baggage searching).
Barang bawaan seperti peralatan elektronik (HP, laptop, kamera dan sejenisnya) harus diperiksa melalui mesin X-Ray (kecuali kamera yang menggunakan film dengan kecepat­an/asa di atas 1.000 diperiksa secara manual), sedangkan benda yang dikategorikan kedalam security item (senjata tajam, senjata api, benda tajam, tongkat penyangga tubuh, peralatan teknik dan peralatan lainnya yang dapat digunakan atau disalahgunakan sebagai senjata) harus diperlakukan sebagai bagasi tercatat atau dititipkan kepada pengangkut.
Pemeriksaan Badan
Petugas akan melakukan pemeriksaan badan dan barang secara manual karena pertimbangan keamanan sesuai ketentuan, para penumpang diminta kooperatif antara lain bersedia mengeluarkan benda dalam saku (bila diminta petugas), membuka pakaian luar yang tebal (jacket), topi, untuk diperiksa melalui mesin X-Ray, me­rentangkan kedua tangan, me­renggangkan kedua kaki serta menurut ketika dilakukan pemeriksaan.
Bagi penumpang yang menggunakan alat pacu jantung dan perleng­kapan kesehatan lainnya (yang tertanam dalam badan), akan dilakukan pemeriksaan badan secara manual dan tidak melalui WTMD atau menggunakan HHMD.
Bagi penumpang yang menggunakan penerbangan internasional, barang bawaan seperti ”liquid, aerosal and gell” (cairan, obat-obatan dan jelly) dibatasi hanya sejumlah total 1.000 ml/mg perpenumpang dengan catatan setiap kemasan berukuran tidak lebih dari 100 ml/mg, dimasukkan ke dalam plastik transparan (sudah disediakan di setiap tempat pemeriksaan keamanan), dan diperiksa melalui mesin X-Ray, kelebihan dari jumlah tersebut akan diperlakukan sebagai bagasi tercatat. Hal ini dikecualikan bagi makanan/minuman bayi yang diperlukan selama perjalanan, obat dengan bukti resep dokter atas namanya sendiri, dan makanan/minuman diet dengan bukti yang cukup.
Untuk pertimbangan keamanan ruang tunggu di beberapa bandar udara  dirancang tidak dilengkapi dengan toilet/wc, para penumpang yang memerlukan toilet/wc terpaksa harus keluar dari ruang tunggu, selanjutnya dilakukan pemeriksaan keamanan ulang ketika akan memasuki ruang tunggu.
Ketika panggilan untuk memasuki pesawat udara diumumkan, maka saatnyalah semua penumpang untuk mematikan aktivitas telepon genggam, para petugas wajib memeriksa atau paling tidak mengingatkan, baik secara lisan ataupun melalui tulisan pada pintu keluar ruang tunggu menuju pesawat udara, juga para personel pesawat udara akan mengingatkan ketika memasuki pesawat udara.
Untuk alasan keamanan lainnya (bila diperlukan) petugas akan melakukan kembali pencocokan identitas diri selain boarding pass.
Bagi penumpang yang menitipkan senjata api kepada pengangkut, penye­rahan di terminal kedatangan bandar udara tujuan dilakukan di pintu keluar terminal kedatangan dengan menyerahkan bukti penitipan.
Seluruh proses pemeriksaan penumpang dan barang di atas, sekali lagi, dilakukan untuk mencegah terbawanya barang/benda berbahaya ke dalam kabin pesawat udara, yang dapat dipergunakan untuk melakukan tindakan melawan hukum, sekaligus dapat memeberikan jaminan rasa aman kepada penerbangan (penumpang dan personel pesawat udara) selama penerbangan. (*)

Airline Industry Deregulation


Airline Industry Deregulation

1.    Deregulasi industry penerbangan
2.    Deregulasi industry penerbangan di Indonesia dilaksanakan mulai tahun 2000, ketika Pemerintah membuka izin seluas-luasnya bagi pendirian perusahaan penerbangan, termasuk mengizinkan maskapai baru menerbangi rute-rute gemuk, yang sebelumnya hanya dikuasai Garuda Indonesia dan Merpati Nusantara. Tidak itu saja, dalam upaya meningkatkan kemampuan armada perusahaan penerbangan,
3.    Pemerintah melalui Keppres Nomor 33 Tahun 2000 mencabut larangan masuk dan izin pengoperasian pesawat yang diatur dalam Inpres Nomor 1 tahun 1980. Dengan demikian airlines bebas menentukan tipe pesawat yang dioperasikan sesuai kemampuan perusahaan. Umur pesawat tidak ditentukan secara eksplisit, asal pesawat memenuhi persyaratan dan peraturan kelaikan udara.
4.    Bahkan dalam penyelenggaraan angkutan udara, melalui Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 11 tahun 2001 antara lain menetapkan perusahaan penerbangan cukup menguasai dua pesawat yang laik terbang dalam menjalankan usahanya. Tidak mengherankan jika kemudian banyak pengusaha yang memiliki surat izin pendirian,- sekalipun perusahaan penerbangan tersebut tidak segera beroperasi, karena armada yang dibutuhkan masih dalam proses negoisasi.
5.    Pasca deregulasi tahun 2000, industry penerbangan Indonesia mengalami perkembangan pesat. Jumlah maskapai penumpang berjadwal mencapai 15 airlines, padahal sebelum dergulasi hanya lima airlines.
6.    Harga tiket penerbangan yang sebelumnya diatur Pemerintah, seiring era deregulasi diserahkan kepada mekanisme pasar; dan pemerintah hanya menentukan patokan harga tiket batas bawah. sehingga persaingan antar maskapai berlangsung ketat dan harga tiket semakinmurah, sehingga penumpang pesawat mengalami peningkatan significant.
7.    Bila tahun 1998 hanya 6 juta orang, maka tahun 2009 (setelah deregulasi penerbangan) melonjak menjadi 40 juta orang lebih. Bahkan murahnya tiket angkutan udara menggerus moda transportasi darat dan laut.

IATA Operational Safety Audit – IOSA


IATA Operational Safety Audit – IOSA

1.    Audit Keselamatan Operasional IATA.
2.    Sistem audit manajemen operasional dan sistem kontrol perusahaan penerbangan, yang berlaku bagi seluruh anggota IATA
3.    System audit IOSA mencakup 8 aspek atau 900 standar operasional penerbangan dan system kontrol perusahaan penerbangan, yaitu organisasi & manajemen (organization and management), operasional penerbangan (flight operation), system kontrol penerbangan & keberangkatan pesawat (operational control & flight dispatch), penanganan pesawat di darat (ground handling), system perawatan & engineering pesawat (maintenance), awak pesawat (cabin operations), penangan operasional kargo (cargo operations), dan keamanan operasional penerbangan (aviation security).
4.    IOSA menjadi standar dana acuan aspek safety dan quality dalam industry penerbangan dunia.
5.    IOSA diterima sebagai benchmark global safety management oleh ICAO, Federal Aviation Administration (FAA) amerika serikat, dan European Aviation Safety Agency (EASA) Uni Eropa, bahkan beberapa Negara menerapkan standar IOSA secara mandatory bagi airlines ny, antara lain ; Turki, Mesir, Meksiko, Cile,.
6.    Hingga saat ini maskapai Indonesia yang memenuhi standar IOSA adalah Garuda Indonesia (14 Mei 2008) dan mandala Airlines (18 Maret 2010). Jumlah Airlines di dunia yang memenuhi standar IOSA hingga awal agustus 2010 sebanyak 339 airlines.
7.    Maskapai penerbangan yang memenuhi standar IOSA, wajib menjalani evaluasi secara konsisten setiap dua tahun


IATA


IATA “International Air Transport Association”



1.    Asosiasi transportasi udara internasional
2.    IATA berkantor pusat di Montreal, Quebec, Kanada. Dikota yang sama, Organisasi penerbangan sipil internasional (ICAO) juga berkantor pusat disana. Perbedaannya, IATA beranggotakan maskapai – maskapai penerbangan , baik berjadwal maupun tidak berjadwal. ICAO beranggotakan Negara –negara. Kedua badan ini mengatur regulasi terkait dengan penerbangan internasional sesuai dengan porsinya masing – masing.
3.    Pendirian IATA dirintis oleh angkutan udara komersial pasca dunia I (1914-1918). Pada tahun 1919, para pelaku usaha angkutan udara mendirikan International Air Traffic Association (IATA) di Den Hag, Belanda. Pasca perang dunia II, bulan april 1945 organisasi di revisi di Havana, Kuba dan namanya berubah menjadi International Air Transport Association  (IATA) seperti yang dikenal selama ini.
4.    Anggota IATA saat ini sekitar 230 Airlines dari 140 negara di lima benua. Pada awal pendiriannya, IATA beranggotakan 57 Airlines dari 31 Negara, terutama Negara-negara di eropa dan amerika utara.
5.    Sejak awal berdirinya, IATA memikirkan kepentingan anggotanya secara Global. System dan prosedur dibuat sedemikian rupa agar sesame anggota dapat bekerja sama secara efektif. Salah satu misi IATA adalah agar para anggotanya secara bersama-sama untuk melayani pengguna jasa, antara lain clearing house (pusat kliring), Billing and Settlement Plan – BSP (system penagihan dan pelunasan bersama) dan system yang sama untuk kargo atau CASS (cargo account settlement system) serta perjanjian layanan pindah pesawat yang berlaku multilateral atau MITA (Multilateral Interline Traffic Agreement).
6.    Disamping itu, maskapai penerbangan anggota IATA juga menikmati image dan prestige bertaraf internasional , karena maskapai yang beroperasi di jaringan internasional adalah anggota aktif IATA, sedangkan merka yang beroperasi dijaringan domestic berstatus sebagai anggota tidak enuh (associate member) IATA.
7.    Dilingkungan IATA, dunia ini dibagi dalam tiga wilayah (Traffic Conference – TC). TC I meliputi benua Amerika dari utara sampai ke selatan, TC – 2 terdiri dari dua benua, yaitu eropa dan afrika, sedangkan TC -3 adalah seluruh kawasan benua asia dan Australia, termasuk didalamnya Indonesia. Pembagian wilayah ini dilakukan untuk mempermudah penetapan regulasi terhadap kawasan di mana Negara-negara yang berada didalamnya mempunyai karakteristik yang sama atau hamper sama.

sumber : ensiklopedia penerbangan

Dangerous Goods (Q Value)


APAKAH NILAI “Q”?


Nilai “Q” harus dihitung ketika mengirim kemasan (package) barang berbahaya yang berbeda dalam kemasan luar,yang sama untuk pengiriman udara. Menurut Bagian 5.0.2.11 (g) dari International Air Transport Association Peraturan Barang Berbahaya (IATA DGR):
Rumus :

Q = n1/M1 + n2/M2 + n3/M3

Dalam rumus ini, n1, n2, dll adalah jumlah bersih per kemasan (package) barang berbahaya yang berbeda. M1, M2, dll adalah jumlah bersih maksimum per kemasan untuk barang berbahaya yang berbeda seperti yang tercantum dalam Daftar DGR IATA Barang Berbahaya untuk penumpang atau pesawat kargo (list of dangerous goods).
Sebagai contoh:
Pengirim kemasan 0,5 liter aseton (n1), 0,5 liter isopropanol (n2) dan 0,5 liter metanol (n3) dalam kemasan luar yang sama untuk pengiriman dengan pesawat penumpang. Menurut kolom J dari DGR IATA untuk barang-barang berbahaya, jumlah maksimum yang diizinkan per kemasan pada pesawat penumpang adalah 5 liter untuk aseton (M1), 5 liter untuk isopropanol (M2), dan 1 liter untuk metanol (M3).

Aseton + Isopropanol + Metanol

Rumus : Q = n1 / M1 +  n2 / M2 + n3 / M3

Q = 0,5 / 5 + 0,5 / 5 + 0,5 / 1
Q = 0,1 + 0,1 + 0,5
Q = 0,7

Dalam rangka memenuhi persyaratan kemasan, nilai Q yang dihitung tidak dapat melebihi 1. Jika tidak, jumlah barang berbahaya dikemas terlalu besar dan tidak diperbolehkan untuk pengiriman. Nilai Q yang dihitung harus dibulatkan ke tempat desimal pertama dan disertakan dengan jumlah dan jenis kemasan deskripsi pada Deklarasi Pengirim (Shipper declaration) Barang Berbahaya.
Dalam contoh nilai Q yang dihitung kurang dari 1. Dengan asumsi semua persyaratan lainnya terpenuhi, maka akan diperbolehkan untuk mengangkut  bahan tersebut dalam kemasan luar yang sama.
Hal ini tidak perlu untuk memasukkan es kering (dry ice) atau barang berbahaya tanpa batas dalam (no limit) Daftar Barang Berbahaya ketika menghitung nilai. Jika tidak, perhitungan harus dilakukan untuk kuantitas terbatas, penumpang dan kargo, dan pesawat kargo hanya pengiriman di mana lebih dari satu barang berbahaya yang dikemas dalam paket luar yang sama.